Showing posts with label Press Release. Show all posts
Showing posts with label Press Release. Show all posts

Wednesday, October 15, 2008

Temani Adik Bobo Dong!

Seputar Indonesia, Lifestyle - Kids
Wawancara dengan psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) oleh Koran Sindo, Sabtu 20/01/2007


Belajar tidak berada di dekat orangtua juga menjadi latihan bagi anak, selain kemandirian, saat si kecil menempati kamarnya sendiri.Pelajaran ini memang lebih kepada ikatan emosional daripada fisik.

Tidak ada batasan usia yang pasti bagi anak untuk mulai pisah kamar dengan orangtua. Melainkan, lebih dilihat kepada kesiapan anak itu sendiri. Sebab, masing-masing anak punya kesiapan yang berbeda- beda. Kalau misalkan si anak di usia satu tahun sudah bisa melihat dan bisa ditinggal di kamarnya sendiri, itu tidak menjadi masalah. Namun, ada juga anak yang di usia satu tahun sangat tergantung dengan orangtuanya.

Perlunya memisahkan anak dari kamar tidur orangtua,juga dimaksudkan agar anak tidak melihat saat orangtuanya melakukan hubungan intim. Kalau anak sudah mulai mengetahui banyak hal dan dia sudah bisa melihat dengan jelas, ada baiknya dia sudah mulai ”dipisahkan” dengan orangtua. ”Kalau si anak masih tidur bersama orangtua dan ketika orangtua sedang melakukan hubungan intercourse, maka si anak bisa saja melihatnya secara tak sengaja,” kata psikolog anak Woro Kurnianingrum.

Bila anak melihatnya di usia dini, dia bisa menyalahartikan apa yang dilihatnya. ”Ini yang perlu dihindari,” tegasnya. Paling tidak, menurut teori perkembangan, anak sekitar usia satu tahunan sudah dapat melihat dengan jelas. Namun, biasanya orangtua mulai memisahkan anak ketika si anak mulai menginjak bangku sekolah. Proses memisahkan kamar ini perlu dilakukan secara bertahap. Misalkan,pertama-tama si anak diperkenalkan dengan kamar barunya. Selanjutnya, anak diberikan penjelasan bahwa dia nanti akan tidur di kamar barunya itu.

Usahakan kamar tersebut didesain dengan corak warna dan aksesori kesukaan anak. Lalu, secara bertahap orangtua perlu menemani si anak untuk tidur bersama di kamar tersebut terlebih dulu. Bisa saja di hari-hari pertama orangtua menemani anak tidur di kamar tersebut hingga pagi hari. Secara bertahap berkurang, bisa juga hanya sampai si anak tertidur, kemudian orangtua meninggalkan anak tidur sendiri di kamarnya. Nah, ketika anak terbangun, maka orangtua perlu menemani kembali agar si anak merasa nyaman bahwa orangtuanya masih berada di dekatnya.

Namun, lambat laun ini pun perlu dibatasi. Hingga si anak bisa pergi ke kamarnya dan tidur sendiri tanpa perlu ditemani orangtua. Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kini banyak orangtua yang sudah menggunakan alat sensor suara bernama baby talk, yang diletakkan di kamar si anak dan kamar orangtua. Alat tersebut digunakan sebagai alat komunikasi menghubungkan dua kamar. Jadi, ketika anaknya menangis di tengah malam, orangtuanya dapat langsung mendengarkan dan menenangkan si anak dengan mengatakan ayah-ibunya ada di dekatnya. Secara bertahap proses anak pisah kamar ini dapat dilakukan hingga si anak menginjak bangku sekolah dia sudah terbiasa tidur sendiri di kamar.

Lebih jauh dikatakan Woro, anak tidur terpisah dengan orangtua bukan semata soal kesiapan mental si anak saja, juga berkaitan dengan ketersediaan ruang kamar dalam sebuah rumah. Bagi keluarga yang menempati rumah yang punya banyak kamar,mungkin tidak menjadi masalah. Sebaliknya, bagi keluarga yang rumahnya tergolong kecil dan minim kamar, maka perlu ada penyiasatan dalam mengatur tidur pisah ini. Dia menyarankan,kalau sekiranya dalam rumah tersebut hanya terdiri dari satu kamar, ada baiknya pemisahan dilakukan menggunakan sekat pemisah sederhana.

Tujuannya agar si anak tak melihat orangtua, tapi dia dapat merasakan nyaman masih berada dekat ayah-ibu. Sementara itu, psikolog anak Melly Puspitasari menyarankan, dalam menyiapkan kamar anak, sebaiknya merancang kamarnya seaman dan senyaman mungkin.Artinya,pintu dan jendelanya aman terkunci untuk mencegah maling masuk. Kemudian,hal yang perlu diingat, masa kanak-kanak membutuhkan stimulus untuk menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas. ”Begitu juga dalam merancang desain kamar anak, kita bisa menyiapkan gambar-gambar yang merangsang kreativitas si anak,” sarannya. Bisa saja orangtua menempelkan huruf-huruf/abjad di dinding kamar anak. Ketika berada di kamar anak, si ibu bisa mengajak anak bermain mengenal huruf-huruf.

”Mama tahu lho huruf A.Ayo kita cari mana yang huruf A?” Dengan demikian, kamar anak bisa menjadi mediasi untuk menumbuhkan kreativitas dan sarana belajar bagi anak.Alhasil, si anak merasa nyaman dan berpikir,” Oh ternyata belajar itu menyenangkan”. ”Kita juga bisa menempatkan karpet berbahan karet sandal yang berbentuk huruf-huruf,” kata Melly. Karpet tadi bisa ditempatkan di kamar anak.Karpet tadi aman bagi kesehatan anak karena tidak menyimpan debu sehingga dapat mencegah anakanak alergi debu.Sebaiknya dihindari menempatkan karpet biasa di kamar anak karena menjadi tidak aman bagi anak yang menderita alergi atau asma.

Anak-anak pada umumnya menginginkan suatu dunia yang berbeda, yakni dunia yang ada di alam imajinasinya. Sekarang banyak tersedia furnitur- furnitur kamar yang bertemakan anak-anak. ”Kita bisa membelikannya sesuai kegemaran anak terhadap benda tertentu. Misalnya anak yang suka dengan mobil, bisa kita belikan tempat tidur atau bantal yang berbentuk mobil-mobilan. Bisa juga kita belikan tempat tidur berwarna-warni cerah,” urainya. Selain itu, bisa juga menempelkan sekeliling dinding kamar dengan gambar-gambar yang disukai anak. ”Contoh lain, si anak diminta menggambar sesuatu. Selanjutnya, gambar itu digunting dan ditempel di lemari pakaian anak,” ujar Melly. (nuriwan trihendrawan)


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).

Friday, October 3, 2008

Berikan Ruang Bermain yang Cukup

Seputar Indonesia, Lifestyle - Kids
Wawancara dengan psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) oleh Koran Sindo, Rabu 14 Maret 2007


PEMERHATI masalah anak juga Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Dhanang Sasongko berpendapat, sebetulnya anak agresif harus dipandang sebagai sesuatu yang positif.

”Umumnya, anak semacam ini berani melakukan sesuatu dan punya daya kreativitas yang bagus. Asalkan orangtuanya dapat mengarahkan dan menstimulusnya ke arah positif,” ujarnya. Dia menyayangkan tindakan orangtua yang kadang justru menghukum sifat agresif anak tadi dengan tindakan negatif. Misalnya, memarahi atau menghukum anak dengan memukul. Tindakan semacam ini justru akan membuat anak semakin agresif terhadap orang lain.

”Lebih baik ajak anak melakukan kegiatan menantang yang dapat menjadi ajang penyaluran sifat agresivitasnya. Sehingga, hasilnya pun menjadi positif,” tutur Dhanang. Sementara, psikolog anak Woro Kurnianingrum menyarankan agar langkah pertama yang perlu dilakukan adalah orangtua introspeksi diri. Salah satu caranya,kalau orangtua sedang memberi tahu atau menasihati sang anak, jangan melakukannya sambil emosi. ”Jadi, langkah awal adalah mencari penyebabnya.

Kalau bukan karena dari pihak orangtua, mungkin saja dia meniru dari teman terdekatnya atau meniru dari tayangan TV yang ditontonnya tanpa sengaja,” ungkapnya. Orangtua perlu membantu si anak untuk belajar mengungkapkan apa yang diinginkan anak. ”Kamu mau apa?” ”Mainan ini ya?”, misalnya. Dengan demikian, anak merasakan terbantu apa yang tengah ada dalam pikirannya, tapi dia belum mampu mengungkapkannya. Cara lain, dengan mengajarkan adanya konsekuensi logis dari sebuah tindakan.

Satu contoh, ketika anak sedang bermain bola bersama kawan- kawannya, kemudian dia berperilaku kasar,dengan melempar.Sebaiknya orangtua segera menarik dia dari permainan tadi dan ajak dia duduk menyaksikan teman-teman lain yang tengah bermain. ”Jelaskan bahwa dia bisa bermain tanpa menyakiti temannya, lalu tunggu sampai dia siap bermain,” ujar Woro. Hindari argumen seperti menanyakan; ”Bagaimana kalau Dedek dilempar bola sama teman Dedek?”. Sebab, toddler belum punya pikiran dewasa atau matang untuk bisa membayangkan dirinya di posisi orang lain atau berubah tingkah lakunya karena pertanyaan tadi.

Tapi toddler dapat mengerti apa akibat atau konsekuensinya. ”Orangtua jangan panik, tapi justru harus tenang menghadapi anaknya yang berperilaku agresif,” sarannya. Membentak, memukul, atau mengatakan kalimat tidak baik, tidak akan mencegah tingkah laku si anak. Justru dapat membuat si kecil mencontoh yang tidak baik. Sebenarnya kalau Anda tenang dan bisa mengendalikan amarah justru mungkin menjadi langkah awal baginya untuk belajar mengontrol kemarahannya. ”Cobalah untuk segera merespons jika anak agresif. Jangan menunggu sampai dia memukul si adik untuk ketiga kalinya, baru orangtua menegurnya,” tegasnya. Anak harus segera tahu bahwa dia salah.

Beberapa saat dia akan menghubungkan perbuatan dan akibatnya.Akhirnya, dia mengerti bahwa jika dia memukul, menggigit, dan kenakalan lain, dia akan disingkirkan. Orangtua juga perlu mengajarkan alternatif tindakan lain yang lebih positif dalam mengelola emosi ketimbang melakukan tindakan agresif. Tunggu sampai dia sudah tenang, lalu jelaskan dengan lembut apa yang terjadi, tanyakan apa yang membuatnya marah. Katakan b a h w a marah itu wajar, tapi t i d a k boleh ditunjukkan dengan memukul, menggigit, atau menendang.(nuriwan t)


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).


Peran Orangtua dalam Proses Belajar Anak

Seputar Indonesia, Lifestyle - Kids
Artikel oleh psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) untuk Koran Sindo, Kamis 19 April 2007


Kita sering kali mendengar kata ”belajar”. Hanya, belajar sering diartikan dengan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau menuntut ilmu di sekolah. Pengertian belajar tersebut lebih terkait dengan dunia pendidikan formal.

Padahal belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu perubahan perilaku yang diperoleh dari pengalaman,baik secara informal maupun secara formal. Belajar secara informal dapat diperoleh seseorang melalui pengalaman sehari- hari dengan menggunakan pancaindranya. Belajar seperti ini ditunjukkan dengan perilaku mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu sendiri, mendengar, maupun mengikuti petunjuk. Belajar secara informal sebenarnya telah berlangsung sejak anak lahir ke dunia. Mulai dari belajar beradaptasi terhadap lingkungannya yang baru hingga belajar mengenali peraturan-peraturan yang berlaku umum di masyarakat.

Jadi, tanpa disadari bayi pun telah mengalami proses belajar yaitu belajar mengenal dunianya sesuai kapasitas perkembangan usianya. Untuk belajar secara formal,seseorang dapat memperolehnya dengan mengikuti pendidikan di suatu tempat atau lembaga khusus, seperti sekolah, tempat kursus, dan sebagainya. Belajar secara formal inilah yang lebih populer dan sering digunakan untuk mengartikan kata ”belajar”. Tak dapat dimungkiri,proses belajar anak dalam kaitannya dengan dunia pendidikan merupakan bagian pokok yang sering menjadi masalah, baik oleh diri anak itu sendiri atau orangtuanya.

Berikut ini pun akan lebih dibahas mengenai belajar dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai proses belajar,sebaiknya kita melihat terlebih dahulu beberapa faktor yang dapat memengaruhi seorang anak dalam belajar. Pertama, faktor yang berasal dari dalam diri anak.Faktor ini terbagi menjadi faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis di sini mencakup nutrisi, kondisi tubuh, penyakit, pancaindra, dan lain-lain yang ada pada diri anak.

Dari faktor psikologis, faktor ini meliputi: adanya sifat ingin tahu anak dan keinginannya untuk menyelidiki dunia yang lebih luas; adanya sifat yang kreatif pada anak dan keinginan untuk selalu maju; adanya keinginan anak untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru, dan teman- teman; adanya keinginan anak untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kerja sama maupun dengan persaingan; adanya keinginan anak untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran; serta adanya ganjaran atau hukuman sebagai hasil daripada belajar. Kedua, faktor di luar diri anak. Faktor ini meliputi faktor sosial dan faktor nonsosial.

Faktor sosial yaitu faktor kehadiran orang lain, seperti orangtua atau saudara kandung, baik kehadiran secara langsung maupun tidak. Adapun faktor nonsosial, antara lain keadaan udara, cuaca, ruangan atau tempat belajar, serta sarana dan prasarana untuk proses belajar itu berlangsung. Meskipun sekolah sebagai salah satu tempat untuk pendidikan formal anak, tetap orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak dapat menjadi penunjang prestasi anak di sekolah.

Adapun bentuk keterlibatan yang dapat dilakukan orangtua dalam membantu proses belajar anak, antara lain dengan menciptakan lingkungan rumah yang mendukung untuk proses belajar. Lingkungan di sini termasuk secara fisik dan psikologis. Untuk lingkungan secara fisik di sini, orangtua dapat menyediakan sarana dan prasarana yang dapat digunakan anak untuk belajar, seperti ruangan atau tempat untuk belajar,meja dan kursi,buku tulis dan buku pelajaran, serta peralatan tulis.

Adapun untuk lingkungan secara psikologis, orangtua diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang mendukung. Apabila anak lebih mudah berkonsentrasi dalam keadaan hening, maka orangtua dapat mengurangi atau mematikan volume suara televisi. Setiap orangtua pasti memiliki impian maupun harapan tersendiri terhadap anak-anaknya. Untuk itu, orangtua dapat menunjukkan harapan yang tinggi terhadap prestasi dan karier masa depan anak.

Namun sebaiknya tetap realistis dengan melihat kemampuan dan minat yang dimiliki anak. Untuk anak dalam tingkat pendidikan taman kanak-kanak (TK), orangtua dapat memperhatikan dalam aktivitas apa anaknya terlihat antusias. Apakah aktivitas keterampilan tangan, aktivitas yang menuntut kemampuan berpikir seperti bermain puzzle, atau aktivitas yang membutuhkan kemampuan bersosialisasi. Untuk anak yang telah duduk di sekolah dasar (SD) atau tingkat selanjutnya, orangtua dapat melihat pada pelajaran apa anaknya tampak unggul atau memperoleh nilai yang tinggi. Selain itu, orangtua perlu mengetahui dan membantu mengoptimalkan cara belajar yang dimiliki anak. Setiap anak memiliki cara belajar yang berbedabeda.

Misalnya apakah anak lebih mudah menyerap informasi dengan cara membaca, mendengarkan, atau dengan melihat benda/gambar dalam wujud nyata. Orangtua juga perlu menyadari bahwa anak bukanlah robot yang dapat diprogram sesuai keinginan orangtua. Jangan heran jika anak tidak menyukai belajar karena melihat orangtua tidak pernah menyentuh buku atau sekadar membaca koran, melainkan hanya memberi perintah kepada anak untuk belajar. Untuk menumbuhkan sikap dan minat anak dalam belajar,orangtua sebaiknya juga memberi contoh yang positif pada anak mengenai sikap dan minat dalam hal belajar.

Dalam kaitannya dengan sekolah, orangtua dapat membantu anak dalam tugas- tugas sekolah. Misalnya dengan membantu mengulang materi di sekolah,membimbing anak dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah), maupun dengan menyediakan sarana dan prasarana anak dalam tugas prakarya atau kesenian (art project). Selain itu, orang tua juga dapat meluangkan waktu untuk dapat terlibat dalam membantu program sekolah.

Misalnya dengan melakukan pengawasan terhadap cara pengajaran yang diterapkan oleh pihak sekolah,membantu mengumpulkan dana untuk kegiatan kemanusiaan yang diadakan sekolah, atau membantu mengawasi anak apabila melakukan kunjungan luar (field trip). Salah satu kunci untuk meraih tujuan dalam pendidikan anak ialah adanya komunikasi antara orangtua dengan pihak sekolah. Ada beberapa topik yang dapat dibicarakan orangtua dengan pihak sekolah. Pertama, mengenai sikap dan pola pengasuhan orangtua yang berkaitan dengan pendidikan yang diterapkan di rumah. Kedua, harapan orangtua terhadap prestasi dan perilaku anak di sekolah.Dan ketiga, orangtua mengetahui harapan sekolah terhadap aktivitas anak di rumah.

Dengan adanya keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak, dapat diperoleh beberapa manfaat, antara lain anak memiliki sikap yang lebih positif dalam belajar. Kedua, anak lebih bersemangat untuk ke sekolah. Ketiga, anak menunjukkan prestasi belajar yang lebih baik. Terakhir, anak cenderung dapat menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang tertinggi dan meraih pekerjaan yang memadai.(*)

Oleh : Woro Kurnianingrum, MPsi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara
Psikolog Anak - Angel's Wing


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).

Agresivitas di Masa Toddler

Seputar Indonesia, Lifestyle - Kids
Wawancara dengan psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) oleh Koran Sindo, Rabu 14 Maret 2007


Dua bulan belakangan ini Cikal, 1 tahun 4 bulan, sering melempar atau memukul orang lain bila sedang bermain.Apakah dia tergolong agresif? Apakah perilaku tersebut merupakan bagian dari proses pertumbuhan?

Anak yang tengah menginjak usia 1–2 tahun dikenal dengan istilah toddler. Itu merupakan masa lucu-lucunya anak sekaligus yang melelahkan bagi orangtua. Banyak hal perlu diketahui orangtua selama masa perkembangan ini. Tingkah laku toddler amat beragam, seperti berperilaku agresif,menarik rambut,banyak kemauan, berbohong, dan tindakan lain. Apabila orangtua salah menyikapinya, akan berdampak tidak baik bagi si anak dalam perkembangan selanjutnya.

Untuk itu, orangtua perlu membuka wawasan tentang bagaimana menyikapi toddler. Psikolog Anak Woro Kurnianingrum mengatakan,munculnya perilaku agresif pada anak usia 1–2 tahun merupakan suatu hal yang wajar. Perilaku itu terjadi karena saat itu anak sedang berada pada masa transisi. ”Dia mulai ingin berkomunikasi dengan pihak di luar dirinya. Namun, karena belum mengungkapkan keinginannya secara jelas dan verbal, maka dia melakukannya dengan perilaku agresif berupa tindakan memukul atau melempar,” papar lulusan Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta itu. Pengertian sifat agresif (suka menyerang) ialah melakukan suatu tindakan kekerasan untuk melukai orang dalam kemarahannya.

Biasa dilakukan dengan menendang atau memukul orang, mengatai atau memaki orang dengan kata-kata kasar, memfitnah dan menggertak, serta mengganggu orang lain. ”Lantas, apakah perilaku semacam ini dapat berkembang hingga si anak menjadi seorang yang punya sifat agresif ketika dewasa. Hal itu sangat bergantung dari penyikapan yang dilakukan orangtua,” ujarnya. Sebetulnya tidak semua anak di usia tersebut suka memukul. Bila anak kita menunjukkan perilaku semacam ini, orangtua perlu mencari tahu ada apa dengan anaknya.

Apakah sifat agresif itu didapat dari meniru orang di lingkungan terdekatnya, seperti ayah, ibu, atau kakaknya. Bisa juga akibat pengaruh media televisi atau video. ”Pada umumnya, seorang anak tidak mungkin dengan sengaja ingin melukai orang lain, kalau bukan karena emosinya. Anak yang melakukan kekerasan seperti ini adalah anak yang mau menang sendiri. Karena,demi mencapai keinginannya tidak lagi memperhatikan hak orang lain,”urainya.

Karena kemampuan berbahasa yang sedikit dan terbatas. Ditambah adanya keinginan kuat untuk melakukan sesuatu sendiri.Namun,kontrol kemauan di otak anak belum mampu dikelola dengan baik,maka hal itu membuat toddler bertingkah laku agresif.Meski demikian, bukan berarti itu harus dibiarkan. Toddler harus diberi tahu bahwa kelakuan mereka tidak baik dan tunjukkan cara lain untuk mengekspresikan perasaannya. Contohnya, si anak sedang bermain bersama kakak atau temannya.Tapi karena si kecil belum bisa berbicara dengan baik, maka yang terjadi adalah dia memukul dan mengambil atau merebut mainan tersebut.

Suatu penyelidikan membuktikan bahwa anak laki-laki lebih banyak melakukan tindakan agresif ketimbang anak perempuan sejak masa kecilnya. Tindakan agresif tidak sama dengan perasaan agresif. Tindakan agresif lebih bersifat mencari permusuhan, sedangkan perasaan agresif lebih menonjolkan pada sifat marah yang tidak dapat dikendalikan. Mungkin benar bahwa amarah tidak dapat dikendalikan, tetapi tetap harus diupayakan untuk dikendalikan. ”Terbentuknya perilaku agresif ini bisa disebabkan meniru model sikap yang diterapkan orangtua dalam kesehariannya. Anak di usia 1–2 tahun sudah mulai dapat melakukan proses berpikir.

Bila orang-orang terdekatnya melakukan hal seperti itu, si anak akan menirukannya dengan baik,” ungkap psikolog yang praktik di Pusat Terapi dan Remedial Angels. Sementara itu,penulis buku Menerobos Dunia Anak, Dr Mary Go Setiawani dalam artikel berjudul ”Masalah Emosi” menambahkan, orangtua yang membiarkan anak melakukan tindakan agresif, kasar terhadap orang lain juga dapat menjadi penyebab anak agresif. Cara hidup yang tidak beraturan atau terlalu dimanja orangtua dapat membuat anak suka menyerang.Misalnya,orangtua tidak menegur anak ketika memukul orang dan hanya berkata; ”Jangan, Sayang!”, maka anak akan merasakan bahwa di mata orangtuanya tidak apaapa dan memberi kesempatan bagi dia mengulangi perbuatannya bahkan lebih menjadijadi. Bagi anak, bila orangtua tidak menghukum, itu berarti mengizinkan dia bertindak lagi.(nuriwan trihendrawan)


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).

Tuesday, September 23, 2008

Speech Delay, Usia Dua Tahun Belum Juga Bicara

Seputar Indonesia, Lifestyle Kids
Wawancara dengan psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) oleh Koran Sindo, Kamis 1 Maret 2007


Sisca, 2, belum juga bisa mengeluarkan sepatah kata. Padahal anak seusianya sudah mulai terampil berbicara. Apakah dia mengalami keterlambatan bicara?

SEORANG anak mulai memperlihatkan keterampilan bicara pada usia 1,6 tahun–2 tahun. ”Walaupun artikulasi atau pengucapan kata-katanya belum jelas,”kata psikolog anak Woro Kurnianingrum dari Angel's Wing. ”Namun ada juga anak yang baru bisa bicara ketika berusia di atas 2 tahun,” katanya. Ketika ada anak belum bisa bicara saat menginjak usia dua tahun, orangtua boleh khawatir, tapi jangan panik. Orangtua dapat mulai mencari-cari tahu apa penyebabnya?

Tapi, jangan cepat mengambil kesimpulan bahwa anaknya mengalami keterlambatan bicara atau speech delay. Setiap anak berbeda-beda tahapan perkembangannya. Jadi, mungkin saja ada anak yang di usia dua tahun lancar bicara, tapi ada anak yang bicaranya masih belum jelas di usia yang sama. Woro mengungkapkan, dalam berbahasa ada yang dinamakan reseptif dan ekspresif.

Reseptif adalah kemampuan si anak untuk memahami apa yang diucapkan orang lain. Sementara ekspresif adalah kemampuan si anak mengekspresikan pikirannya dengan berbicara. Bagaimana mengetahui kemampuan reseptif anak? Sebagai contoh, ketika orangtua memberikan perintah kepada anaknya agar mengambilkan gelas, mampukah si anak memahami perintah tersebut? (Baca artikel Perkembangan bicara dan bahasa pada anak usia 0-36 bulan)


Bila ternyata anak mampu memahami, berarti kemampuan reseptif anak tidak bermasalah. Pengecekan selanjutnya adalah pada kemampuan ekspresif. Kalaupun belum baik, bisa saja memang tahapannya baru sebatas kemampuan reseptif yang baik. Sering kali orang menganggap anak terlambat bicara tanpa mengetahui faktor reseptif dan ekspresif tadi. Anak yang mengalami keterlambatan bicara biasanya memiliki kendala pada faktor reseptif.

”Kita bisa memberikan latihan- latihan dengan menstimulasi anak agar dapat memahami dan melafalkan ucapan. Misalkan, mama atau papa. Apakah dia bisa mengulanginya,” kata Woro. Kalau ternyata si anak tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, padahal dia sudah menginjak usia dua tahun. Orangtua boleh khawatir dan mencari-cari tahu.Dengan cara mengecek kondisi fisik berkaitan dengan aspek reseptif.

Apakah ada masalah dengan pendengaran atau pita suaranya. Bila ternyata si anak bisa menirukan lafal /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, itu artinya tidak ada masalah dengan kemampuan berbicara anak. Bila berjalan hingga usia tiga tahun belum juga bisa bicara, tapi dia memahami pembicaraan orang lain, orangtua dapat berkonsultasi kepada ahlinya. Seperti ke dokter anak untuk mengetahui kondisi fisik anak atau ke psikolog untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam perkembangan psikologisnya. Bisa juga mendatangi ke pusat terapi wicara untuk melakukan stimulasi dan terapi.

Pakar perkembangan anak Dr Miriam Stoppard mengatakan, tahapan perkembangan kemampuan bicara dan berbahasa dapat dibagi dalam dua fase, yakni usia perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa, sejak bayi usia 0–8 minggu. ”Pada masa perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa, seorang bayi akan mendengarkan dan mencoba mengikuti suara yang didengarnya,” katanya. Tidak hanya itu, sejak lahir dia sudah belajar mengamati dan mengikuti gerak tubuh serta ekspresi wajah orang yang dilihatnya dari jarak tertentu.

Meski masih bayi,seorang anak mampu memahami dan merasakan adanya komunikasi dua arah dengan memberikan respons lewat gerak tubuh dan suara. Sejak usia dua minggu pertama, dia mulai terlibat dengan percakapan, dan pada minggu ke-6 ia akan mengenali suara sang ibu, dan pada usia 8 minggu, ia mulai mampu memberikan respons terhadap suara yang dikenalinya. Kemudian, tahapan selanjutnya adalah perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa.

Tidak lama setelah seorang bayi tersenyum, ia mulai belajar mengekspresikan dirinya melalui suara-suara yang sangat lucu dan sederhana, seperti /eh/, /ah/, /uh/, /oh/ dan tidak lama kemudian ia akan mulai mengucapkan konsonan seperti /m/, /p/, /b/, /j/ dan /k/. Pada usia 12 minggu, seorang bayi sudah mulai terlibat pada percakapan ”tunggal”dengan menyuarakan /gaga/, /ah goo/, dan pada usia 16 minggu, ia makin mampu mengeluarkan suara seperti tertawa atau teriakan riang, dan babbling. Pada usia 24 minggu, seorang bayi akan mulai bisa menyuarakan /ma/, /ka/, /da/ dan sejenisnya.Sebenarnya banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seorang anak sudah mulai memahami apa yang orangtuanya atau orang lain katakan. (nuriwan trihendrawan).


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).


Berikan Kamar yang Terpisah

Seputar Indonesia, Lifestyle Kids
Wawancara dengan psikolog anak Ibu Woro Kurnianingrum, MPsi (Angel's Wing) oleh Koran Sindo, Selasa 22 Mei 2007 (Klik di sini untuk melihat artikel, buka dengan browser IE)


ANAK yang sejak dini terbiasa tidur di kamar sendiri, dalam pergaulan dia cenderung lebih berani dan mandiri. Sebaliknya, bila anak terlambat pisah kamar dengan orangtua, dia akan menjadi anak yang tergantung kepada orangtuanya.

”Dia bisa tumbuh menjadi anak yang manja,” kata psikolog anak Woro Kurnianingrum. Dalam mempersiapkan anak mulai pisah kamar, orangtua perlu terlebih dulu memberikan penjelasan yang mudah dimengerti anak. Bisa dengan mengatakan; ”Kamu kan sudah besar sekarang, belajar tidur sendiri ya! Lagi pula teman- teman mu kan sudah pada tidur sendiri.” ”Tak lupa memberikan rasa nyaman bagi si kecil dengan mengatakan, meskipun mulai belajar tidur terpisah, bukan berarti ayah-ibu tidak akan hadir menemani ketika dia ingin berada di dekatnya,” papar Woro.

Kemudian, ketika anak berusia 5 tahun,sebaiknya dipisahkan tidurnya dengan kakak atau adik yang berbeda jenis kelamin. Hal ini sering kali terlupakan. ”Penyadaran seksual terhadap jenis kelamin anak-anak banyak yang masih lambat. Padahal, jika kita terlambat menumbuhkan kesadaran seksual dalam psikologis anak,maka ke depannya perkembangan anak lainnya juga bisa terlambat,” ucap Melly Puspitasari.

Seandainya punya keterbatasan kamar, bisa saja satu kamar dimanfaatkan berdua oleh kakak dan adik. Di sana ada meja belajar yang masingmasing punya kakak dan adiknya. Tapi ketika akan tidur, kakak dan adik yang berlawan jenis tetap harus terpisah. Dapat juga si ibu tidur bersama kakak yang perempuan.Sementara, si adik yang laki-laki tidur bersama ayah. ”Di samping itu, kita harus menanamkan norma ke kakaknya bahwa ini adikmu sehingga sebagai kakak harus melindungi. Begitu juga sebaliknya, si adik ditanamkan sikap untuk menghormati kakaknya,” ujarnya. (nuriwan t)


______________________________________________________
Website : www.angelswing.or.id Telp. 021-54350166, 0818-08642642.
Angel's Wing melayani
Terapi Okupasi, Sensory Integration SI, Behavior, Physiotherapy, Orthopedagog (Kesulitan belajar khusus), Layanan Psikologi Umum (Test IQ, Minat Bakat, dll), dan Terapi Wicara (speech delay, post operasi celah bibir dan langit-langit/cleft, cadel, gagap).